Penulis: Fitrianti Andari Mahasiswi Jurusan BKI UIN Suska Riau
A. Pendahuluan
Pada saat ini fenomena lesbias, gay, bisexsual dan transgender (LGBT) menimbulkan rasa cemas pada masyarakat luas. Maraknya promosi atau iklan kaum LGBT di media sosial, bahkan menjalar ke kampus, sekolah dan tempat umum lainnya. Banyak yang beranggapan fenomena ini akan menjangkit generasi penerus bangsa, oleh karena itu penolakan secara massif dilakukan oleh ormas, LSM dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta jajaran pemerintah. Kekhawatiran masyarakat tentang perkembangan gerakan kaum LGBT bukan tanpa alasan, salah satunya apabila gerakan LGBT dibiarkan eksistensinya di Indonesia adalah legalisasi perkawinan sejenis. Sebuah gerakan tidak mungkin ada tanpa target dan tujuan akhir dari perjuangannya.
Pandangan masyarakat terhadap LGBT terjadi pro dan kontra. Bagi yang berpihak berpendapat bahwa LGBT adalah hak asasi manusia, tidak boleh didiskriminasikan oleh siapapun walaupun mereka kaum minoritas. Sedangkan yang kontra berpendapat bahwa LGBT merupakan penyakit dan gangguan seksualitas bisa disembuhkan, dan secara agama adalah haram. LGBT bukan hal baru atau fenomena yang baru muncul, namun sudah ada semenjak dulu bahkan dimasa nabi Lut. Sering kita dengar istilah kaum gay, lesbi dan homoseksual.
Dimasa lalu kaum ini malu mengakui dirinya sebagai kaum homoseksual, karena takut dicap sebagai sampah masyarakat dan dikucilkan. Namun yang terjadi saat ini dunia telah mengakuinya, bahkan keberadaan mereka diperjuangkan supaya tidak di diskriminasi.
B. Metode Penelitian
Dalam penulisan artikel ini penulis menggunakan metode studi literatur, yaitu pencarian literatur berupa artikel jurnal dan buku bacaan berkaitan dengan hukum Islam yang diperoleh di perpustakaan.
C. Pengertian
Banyak istilah-istilah yang dipakai berkaitan dengan isu-isu gender ini, maka untuk menyamakan persepsi akan diuraikan pengertian masing-masing. Istilah yang berkaitan dengan LGBT adalah homoseksual, yaitu seseorang yang cendrung mengutamakan orang yang berjenis kelamin sama sebagai mitra seksual disebut homoseksual. (Haryanta, 2012)
Senada dengan arti tersebut Oetomo, 2001 mendefenisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan pada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin sama. Dari dua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa homoseksual merupakan orientasi atau pilihan dari seseorang yang ditujukan pada individu atau beberapa individu dengan jenis kelamin sama. Homoseksual laki-laki disebut “gay” sedangkan homoseksual perempuan disebut “lesbian”.
Biseksual adalah seseorang yang tertarik kepada dua jenis kelamin sekaligus, tertarik kepada laki-laki dan juga perempuan. Sementara Transgender merupakan istilah berperilaku atau penampilan tidak sesuai dengan jenis kelamin, misalnya laki-laki tetapi bertingkahlaku perempuan, berpakaian seperti pakaian perempuan. Atau sebaliknya perempuan bertingkahlaku seperti laki-laki dan berpenampilan seperti laki-laki. Sedangkan transeksual berbeda dengan transgender, transeksual merasa bahwa dirinya terjebak pada tubuh yang salah. (Imron:80)
D. LGBT dalam tinjauan HAM
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Dalam Mukaddimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dinyatakan bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan.
Dalam sistem hukum di Indonesia, sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 dinyatakan“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apa pun”, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam DUHAM Pasal2, 7 dan 22. (Rustam, 2016)
Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan negara mempunyai kewajiban melindungi rakyat warga negara Indonesia apapun jenisnya, suku, agama, ras, etnik, atau kaum minoritas dan kelompok rentan (maksudnya rentan dari kekerasan). Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hak asasi semua warga negara Indonesia tanpa membedakan suku, agama,termasuk kaum minoritas dankelompok rentan termasuk LGBT. (Rustam,2016)
Adapun perlindungan, yang harus dijamin dan diberikandalam kenteks LGBT ini dari perspektif HAM adalah perlindungan hak asasi mereka dalam bentuk jaminan kesehatan untuk bisa sembuh dari penyakitnya, sebagaimana termaktub dalam Pasal 25 DUHAM.
Dengan demikian dapat ditarik dipahami bahwa, sudah menjadi keniscayaan bagi kelompok LGBT untuk mendapatkan hak-hak asasi mereka berupa jaminan perawatan atau pengobatan terhadap penyakit LGBT tersebut. Bukan HAM dalam pengakuan atau melegalkan terhadap orientasi seksual mereka yang menyimpang.
Dari sisi lain, disamping HAM yang dimiliki oleh kelompok LGBT, sesungguhnya ada juga Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang harus dipatuhi oleh setiap orang sebagai termakub dalam Pasal 29, ayat (1 dan 2) DUHAM yaitu:
1. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satusatunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan bebas dan penuh.
2. Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Kewajiban dasar yang dimiliki seseorang (termasuk kelompok LGBT) sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi orang lain yang dapat pula diartikan sebagai pembatasan terhadap hak asasi seseorang harus ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana diatur pada Pasal 70 dan 73 UU. No. 39 Tahun 1999. Berangkat dari ketentuan tersebut, pemerintah sangat berperan dalam menentukan regulasi dan aturan hukum untuk membatasi kebebasan HAM LGBT, untuk menjaminpengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa. Dalam konteks LGBT ini pemerintah dapat mengeluarkan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah, tentang pelarangan terhadap gerakan atau aktivitas penyimpangan seksual yang dilakukan oleh kelompokatau komunitas LGBT di Indonesia.
E. LGBT dalam Tinjauan Hukum Islam
Syari’at (hukum Islam) bersifat universal, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun sesama manusia dan alam. Dalam praktiknya syari’at Islam senantiasa memperhatikan kemaslahatan manusia, dengan mengajak setiap pengikutnya untuk mematuhi perintah dan larangannya. Hukum Islam akan menindak tegas para pelaku yang melanggar ketentuan dan peraturan yang telah ditetapkan berdasarkan nash al-Qur’an dan hadis. Prinsip ini merupakan suatu yang esensial dan faktual dalam menangani problem yang terjadi dalam masyarakat Islam (Syaltut, 1968: 12).
Syari’at Islam berasal dari wahyu Allah Swt. Oleh karena itu, syari’at yang diturunkannya juga mempunyai satu sistem. Artinya, hukum-hukum yang dikandung syari’at Islam tersebut tunduk pada satu landasan dan tujuan, sehingga ketentuan-ketentuannya pun seragam, tidak bertentangan antara satu dengan lainnya. Dalam hal ini, Islam membawa ajaran yang lengkap, mencakup seluruh aspek kehidupan.Tidak satupun aspek hidup dan kehidupan umat manusia yang lepas dari perhatian Islam. Diantara aspek kehidupan yang sangat penting yang di atur Islam adalah hubungan biologis atau seks. Seks merupakan suatu hal yang bersifat sakral dan harus disalurkan secara benar dan bermoral melalui pernikahan. Penyaluran seks di luar nikah disebut zina yang merupakan pelanggaran yang amat tercela. Akhir-akhir ini, perilaku seks berupa zina, homoseksual, lesbian, dan berbagai perilaku aneh dalam hal seks ini, marak dibahas oleh masyarakat Indonesia, baik melalui media elektronik, cetak, maupun melalui seminar dan diskusi. Istilah yang berkembang dalam perilaku seks dan perilaku aneh tersebut dinamakan dengan LGBT (Lesbian, gay, biseksual, dan transgender).
Perilaku LGBT yang dilakukan sejumlah orang mengundang kontroversi (pro dan kontra) serta polemik pada kalangan masyarakat luas, baik secara internasional maupun nasional. Kalangan yang mendukung (pro) LGBT berdalih pada Hak Asasi Manusia (HAM), sedangkan kalangan yang tidak mendukung (kontra) berdalih pada aturan agama dan moral. Pro-kontra ini, bisa jadi diakibatkan karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang hal ini, padahal persoalan ini justru berkaitan dengan ketentraman masyarakat.
Ridha (1950:511-513) memaparkan bahwa Nabi Luth di utus Allah Swt untuk memperbaiki aqidah dan akhlaq kaumnya yang berdiam di negeri Sadum, Amurah, Adma’, Sabubim, dan Bala’, di tepi laut mati. Nabi Luth memilih tinggal di negeri yang paling besar dari kelima negeri itu yaitu Sadum. (Dahlan, 1996:563) Negeri Sadum mengalami kehancuran moral, kaum laki-laki lebih bersyahwat kepada sesama jenisnya yang berusia muda dan tidak bersyahwat kepada kaum wanita. Ketika menyaksikan perbuatan kaumnya yang tidak bermoral tersebut, Nabi Luth menegur dan memperingatkan kaumnya untuk meninggalkan kebiasaannya. Ia mengajak untuk menyalurkan naluri seks sesuai dengan fitrah yaitu melalui perkawinan antara pria dan wanita. Ajakan Nabi Luth ini dijawab oleh kaumnya dengan mengusir dari masyarakatnya. Sementara itu, mereka terus melakukan perbuatan keji dan tidak bermaksud meninggalkan kebiasaan buruk tersebut.
Nabi Luth menganggap perbuatan kaumnya sebagai permusuhan, kebodohan, berlebihan, rusak, dan dosa. Sikap yang lebih aneh dari mereka yang telah hilang akal pikirannya, moralnya bejat dan hasrat manusiawinya telah rusak adalah ketika mereka menyambut tamu Nabi Luth yang tidak lain adalah malaikat azab. Kaitannya dengan adanya tamu Nabi Luth tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam QS.Hud (11): 77-82.
Dalam Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang lesbian, gay, sodomi, dan pencabulan, dengan tegas MUI memfatwakan bahwa pelaku sodomi (liwāṭ) baik lesbian maupun gay hukumnya adalah haram dan merupakan bentuk kejahatan, dikenakan hukuman ta’zīr yang tingkat hukumannya bisa maksimal yaitu sampai pada hukuman mati. Demikian juga dalam hal korban dari kejahatan (jarīmah) homoseksual, sodomi, dan pencabulan adalah anak-anak, pelakunya juga dikenakan pemberatan hukuman hingga hukuman mati.
Berkenaan dengan operasi kelamin atau transgender maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II Tahun 1980, telah mengeluarkan Fatwa tentang Operasi Perubahan/Penyempurnaan kelamin. Dalam fatwa tersebut ada 3 hal yang diputuskan yaitu:
• Merubah jenis kelamin laki laki menjadi perempuan atau sebaliknya hukumnya haram, karena bertentangan dengan al-Qur’an surat Annisa’ ayat 19 dan bertentangan pula dengan jiwa syara’.
• Orang yang kelaminnya diganti kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
• Seorang khunthā (banci) yang kelaki lakiannya lebih jelas bolehdisempurnakan kelaki-lakiannya. Demikian pula sebaliknya, dan hukumnya menjadi positif (laki-laki).
Ikuti Kami di Halaman FACEBOOK RAKYAT TIMES dan TELEGRAM RAKYAT TIMES untuk mendapatkan informasi terupdate
***
Dapatkan info berita terbaru via Group Whatsapp RAKYAT TIMES
***
Ikuti INSTAGRAM RAKYAT TIMES untuk mendapatkan informasi terbaru dalam Gambar.